KEPEMIMPINAN YANG IDEAL MENURUT HINDU
OM SWASTYASTU
Hadirin dan Peserta Lomba yang Saya
Hormati.
Mengawali penyampaian
materi dharma wacana ini, pertama-tama marilah kita mengucapkan puji syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Hyang Parama Kawi, karena atas asung
kerta wara nugraha-Nya, saya dan kita sekalian diberikan kekuatan dan
keselamatan lahir-bathin, sehingga dapat mengikuti lomba dharma wacana
serangkaian dengan kegiatan Temu Karya Ilmiah dan Lomba Ketrampilan
Akademik Perguruan Tinggi Hindu Seluruh Indonesia Tahun 2013 ini.
Hadirin sekalian, patut
disyukuri pula bahwa pelaksanaan Temu Karya Ilmiah dan Lomba Ketrampilan
Akademik Perguruan Tinggi Hindu Seluruh Indonesia Tahun 2013 ini ada dalam era
reformasi, yang mengandung sejumlah tumpuan dan harapan bagi masa depan umat
Hindu yang lebih baik. Dengan dilandasi semangat reformasi dan jiwa moksartham jagadhita ya ca iti dharma, umat Hindu telah melaksanakan satu
agenda yang sangat mulia, sebagai swadharmakeikutsertaan kita dalam
pembangunan berbangsa dan bernegara sebagai agenda Nasional yang harus kita
sukseskan.
Pembangunan kehidupan
beragama dalam era reformasi ini, sangat diperlukan, terutama dalam
menjaga stabilitas dan ketahanan Nasional, serta sebagai upaya untuk
meningkatkan kualitas umat beragama, sehingga tercipta suasana kehidupan
beragama yang penuh keimanan, ketaqwaan, kerukunan yang dinamis, selaras dan
seimbang. Karena itulah, kegiatan Temu Karya Ilmiah dan Lomba Ketrampilan
Akademik Perguruan Tinggi Hindu Seluruh Indonesia Tahun 2013 ini, di
samping sebagai ajang pendalaman ajaran agama Hindu juga mengandung makna
pembangunan sraddha dan bhaktiyang memiliki nilai
strategis bagi terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya. Itu pula sebabnya,
dharma wacana ini saya beri judul KEPEMIMPINAN YANG IDEAL
MENURUT HINDU, sesuai dengan tema yang telah ditentukan.
Saudara-Saudara Sekalian
yang saya muliyakan.
Berbicara masalah
kepemimpinan, pada prinsipnya ada yang memimpin dan ada yang dipimpin. Dua
dikotomi ini hendaknya dipertemukan secara harmoni, sehingga melahirkan sikap
kebersamaan. Kebersamaan dalam hal ini, mengandung pengertian berat sama
dipikul, ringan sama dijinjing sebagai atensi dari seia sekata dalam suka dan
duka. Ketika konteks ini telah mengakar pada setiap pribadi antara yang
pemimpin dengan yang dipimpin, niscaya tujuan organisasi dapat tercapai.
Pencapaian tujuan inilah merupakan keberhasilan dari seorang pemimpin.
Konsep kepemimpinan dalam ajaran agama Hindu bersumber pada kebenaran dari
kemahamuliaan Tuhan sebagai hakikat dari ajaran dharma, karena agama Hindu
adalah agama yang bersumber pada kitab suci Weda, yang merupakan himpunan wahyu
Tuhan Yang Maha Esa. Dari kitab suci Weda inilah mengalir semua ajaran agama
Hindu, baik yang menyangkut sraddha (keyakinan), etika (tata susila), dan acara (ritual). Itu pula sebabnya, ajaran agama
Hindu bersifatsanatana yakni yang abadi,
sehingga agama Hindu juga dikenal dengan Sanatana Dharma, atau secara imanen
disebutVaidika Dharma,seperti yang terdapat dalam sastra suci Hindu
yaitu,
÷k*a(m\rnê,
ikang dharma ngaranya,
h)nun&mrr&sÙ(g, henuning mara ring swarga,
÷kkdigtin&p)rhu,
ika kadi gatining perahu,
ÁnÀ)nun&bnêgennÓs&tsik/. an henuning banyaga nentasing tasik.
“Yang disebut dharma adalah jalan untuk
mencapai sorga, tak bedanya bagaikan perahu bagi pedagang untuk mengarungi
lautan”.
Karena itu, dharma
hendaknya selalu diusahakan dan dimuliakan, lebih-lebih bagi seorang pemimpin
yang selalu memikirkan kerahayuan negeri, dharma hendaknya
diletakkan di atas segala-galanya. Dan perlu diingat bahwa dharma pada zaman
kaliyuga banyak ditinggal orang, kadi anak lanji “bagaikan anak haram “ tiada peduli, apalagi memuliakannya. Ketika dharma
diabaikan ketika itu pula tujuan hidup tidak tercapai, apakah dalam memimpin
atau yang lainnya.
Bagi seorang pemimpin
hendaknya memegang teguh ajaran dharma yang dikemas melalui konsepsi Catur Pariksa (Sama, Beda, Dhana,Dhanda). Sama artinya seorang pemimpin hendaknya selalu bersikap tidak berat sebelah
dalam memberikan keputusan, sehingga rakyat merasa diperhatikan dan diayomi. Beda, maksudnya adalah seorang pemimpin harus mampu dan berani bersikap tegas,
menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar dalam memutuskan sesuatu demi
keadilan tanpa memihak. Dhana, adalah seorang pemimpin berusaha keras
dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya, dengan cara dapat memenuhi kebutuhan
dasar berupa sandang, pangan, dan papan serta pendidikan, kesehatan, dan
kesetaraan gender. Sehingga pembangunan manusia seutuhnya, kesejahteraan
lahir-bathin dapat terwujud. Sedangkan dhanda maksudnya adalah seorang pemimpin harus mampu menegakkan keadilan dalam
memberikan sanksi hukum terhadap pelaku kejahatan, sehingga kejahatan
dapat ditekan seminimal mungkin, sehingga tercipta suasana aman damai dan
berkeadilan.
Di samping itu,
sudara-saudara, konsep kepemimpinan yang telah meluas dan menjadi panutan bagi
pemimpin tempo dulu dan masa kini adalah konsep Asta Brata dengan mencontoh sifat-sifat kedewataan yakni:
1. Indrabrata, merupakan sikap seorang pemimpin yang bijaksana dan tidak pilih kasih
dalam bersedekah, sehingga merata dan tidak membeda-bedakan, lebih-lebih kepada
fakir miskin dan orang-orang suci, bagaikan Indra menurunkan hujan.
2. Yamabrata, seorang pemimpin hendaknya berani
menegakkan keadilan dan kebenaran, menurut sastra suci bagaikan hukum Rta yaitu
hukum abadi alam semesta,hukum dan peraturan yang telah ditetapkan dalam
mengayomi seluruh rakyat atau bawahannya.
3. Barunabrata, seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat
mulia ibarat dewa baruna atau dewa samudra yaitu berwawasan luas dengan
pengetahuan suci dan ilmu lainnya,mampu mengatasi setiap riak atau gejolak yang
terjadi dengan baik,penuh kearifan dan kebijaksanaan.
4. Kuwera, sikap seorang
pemimpin harus bijaksana dalam mempergunakan dana atau uang,jangan jadi
pemboros yang merugikan negara dan masyarakat.
5. Suryabrata, senantiasa bersikap bagaikan dewa Matahari
penuh keadilan, merata dan tanpa membeda-bedakan terhadap siapa saja, kaya dan
miskin, baik dan buruk. Bagaikan Matahari dalam menerangi jagat raya ini.
6. Candrabrata, selalu memiliki sifat mulia ibarat
dewa bulan yang mampu memberikan penerangan bagi rakyatnya yang berada dalam
kegelapan dan kebodohan dengan menampilkan wajah yang penuh kesejukan.
7. Bayubrata, seorang pemimpin dapat melihat dan
menguasai seluruh wilayah kekuasaannya secara utuh bagaikan dewa Angin yang
memenuhi segala ruang dan waktu, selalu meninjau langsung kebawah untuk mengetahui
kondisi kehidupan masyarakat yang dipimpinnya setiap saat.
8. Agnibrata, seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat
mulia ibarat dewa agni yaitu mampu menciptakan hal-hal baru yang berguna bagi
sesama dalam pembangunan disegala bidang kehidupan,teguh dalam prinsip
kebenaran serta mampu melawan musuh,baik yang ada di luar maupun yang ada
di dalam dirinya sendiri.
Penerapan kedelapan sifat-sifat mulia
dalam ajaran Asta Brata tersebut ditegaskan dalam sloka Bhagavad Gita
III.35 sebagai berikut:
श्रेयान्स्वधर्मो विगुणः परधर्मात्स्वनुष्ठितात्। Iस्वधर्मे निधनं श्रेयः परधर्मो भयावहः ॥३५
Śreyān sva-dharmo vigunah para-dharmāt svanusthitāt,
Sva-dharme nidhanam Śreyah para-dharmo bhayāvahah.
“Lebih baik mengerjakan kewajiban sendiri walaupun tiada sempurna
daripada dharmanya orang lain yang dilakukan dengan baik,lebih baik mati dalam
tugas sendiri daripada dalam tugas orang lain yang sangat berbahaya”
Sloka tadi jelas bahwa
kita harus tahu kewajiban sendiri dimana semua tugas itu dilakukan dengan penuh
pengabdian dan bertahap sebagaimana mestinya,karena suatu pekerjaan akan baik
hasilnya apabila dilakukan bertahap dan dengan perencanaan yang matang.
Dalam Geguritan Niti
Sastra buah karya Ida Cokorda Denpasar ada menyebutkan bahwa seorang pemimpin
hendaknya dapat diukur dari pengetahuannya, sikap prilakunya, dan tutur
sapanya. Sikap yang tidak terpuji perlu dihindari, jangan bertindak
sewenang-wenang (otoriter) kepada rakyat, tidak mengucapkan kata-kata
kotor saat emosi sekalipun. Konsep kepemimpinan ini dikenal dengan istilah Ulah Telu yakni:
1. Wijayastra,
Bagi seorang pemimpin hendaknya selalu berbuat baik, mengutamakan pemerataan
dalam bersedekah, dan senantiasa menghilangkan pikiran-pikiran kotor, bingung,
dan sifat angkara murka. Tutur sapanya lemah lembut, hormat kepada pendeta,
sayang kepada rakyat dan memiliki kemampuan untuk memutar roda pemerintahan.
2. Sapadina,
Seorang pemimpin senantiasa berbudi luhur, serta tidak silau dengan
kekayaan harta benda. Karena hal itu semuanya semu sebagai kenikmatan sesaat
yang tidak abadi.
3. Negara
jenyana,
Seorang pemimpin hendaknya selalu memikirkan kesejahteraan rakyat dan kerahayuan negeri, memperbaiki jalan, tempat suci,
jembatan, tempat pertemuan, pertanian, peternakan, pasar, dan sebagainya yang
merupakan sumber pendapatan rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Saudara- Saudara
Sekalian.
Kesimpulannya, bahwa
kepemimpinan Hindu secara konsepsional tertuang dalam ajaran Asta Brata yang merujuk pada sifat-sifat dewa yang dimuliakan
dalam agama Hindu. Selain itu ada juga sebagai penguat untuk seorang
pemimpin sebagaimana terurai dalam konsep Catur Pariksa yakni:
sama, bheda, dhanda, dhana. Dan juga ajaran Ulah Telusebagaimana yang diungkapkan oleh Ida Cokorda Denpasar dalam Geguritan Niti
Sastra yakni Wijayastra, Sapadina, danNegarajenyana.
Demikianlah
saudara-saudara sekalian yang dapat saya sampaikan dalam dharma wacana ini yang
menyangkut masalah kepemimpinan Hindu. Barang kali jika kekurang-sempurnaanya
dengan hormat kiranya dapat dimaklumi,Sekian dan terima kasih,Om Ano bhradah
kratawo yantu viswatah,
Semoga semua pikiran baik datang
dari segala penjuru.
OM SANTIH SANTIH SANTIH OM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar