Makarti Jaya

Makarti Jaya

Rabu, 17 Juli 2019

Menjaga Kesucian Pura


Menjaga Kesucian Pura


Sebuah pertanyaan menggelitik pernah diajukan kepada saya oleh seorang pemuda dengan jujur dan terbuka: “Mengapa Pura harus dijaga kesuciannya, dan apa pula kriteria kesucian itu”
Dalam Kutipan “ Kekawin Arjuna Wiwaha X.1/98 Mrdhu Komala gubahan Mpu Kanwa:
Pada baris kedua: “wahya dhyatmika sembahingulun” yang mengisyaratkan bahwa sebelum bersembahyang kita telah memenuhi dua syarat utama, yaitu:
1.       Wahya, artinya gerak atau sikap nyata meliputi cara berjalan, sikap duduk, sikap tangan, nafas teratur, dan alat-alat pemujaan yang bersih dan baik.
Kriterianya meliputi antara lain: tubuh yang bersih/ sudah mandi, pakaian yang bersih dan sopan, banten atau canang yang sesuai sebagai persembahan.
Di samping itu suasana diciptakan secara kondusif untukn mendukung konsentrasi bersembahyang. Rangsangan berupa dupa, dipa, kidung, dentingan gentha, alunan puja-mantra, dan gambelan yang sesuai menebarkan vibrasi kesucian dan sangat baik untuk mengupayakan jalinan atman pada Brahman.

2.       Dhyatmika, artinya kondisi batin yang baik dan siap untuk bersembahyang, yaitu: tenang, damai, pengabdian yang tulus, dan konsentrasi penuh dalam memuja Sanghyang Widhi.

Oleh karena itu PHDI dalam Keputusan Seminar ke-IV tentang Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu tanggal 17 s/d 20 April 1978 mengatur Tata-Cara masuk Pura, sebagai berikut:
Dilarang masuk Pura bagi orang-orang yang:
·         Dalam keadaan datang bulan (wanita), baru melahirkan atau aborsi yang belum selesai masa cuntaka/ sebel – nya.
·         Berhalangan kematian atau cuntaka karena sebab lain
·         Tidak mentaati ketentuan masuk Pura
·         Menderita cacat fisik yang permanen.
·         Berpakaian tidak sopan atau menonjolkan bentuk tubuh/ aurat.
·         Bercumbu, berkelahi, bertengkar, berkata kasar/ memaki, bergosip, menyusui bayi, meludah, buang air, mencorat-coret pelinggih-pelinggih, dan lain-lain.
·         Yang tidak mempunyai kepentingan bersembahyang atau yang berkaitan dengan acara/ upacara di Pura.
Kitab suci Atharvaveda X11.1.38 menyatakan:
YASYAM SADOHA VIRDHANE YUPO YASYAAM NIMIYATE, BRAHMANO YASYAMARCANTYURGBHIH SAMNA YAJURVIDAH, YUJYANTE YASYAMRTVIJAH SOMAM INDRAYA PATAVE
Artinya: di tempat-tempat suci, di mana didirikan Pura tempat para brahmana yang menguasai yayurveda memuja Tuhan dengan Rgveda dan merapalkan Samaveda, di sanalah Tuhan rnelimpahkan kebahagiaan dan keselamatan bagi umat manusia.

PHDI dalam Keputusan Nomor: 11/Kep/I/PHDIP/1994 tanggal 25 Januari 1994 mengeluarkan Bhisama tentang kesucian Pura, di mana ditetapkan bahwa kawasan suci meliputi: gunung, danau, campuhan (pertemuan sungai-sungai), pantai, laut.
  
Maksudnya lingkungan Pura dalam jarak tertentu agar dijaga tidak tercemar, yang bisa mengganggu konsentrasi umat yang bersembahyang di Pura, baik dalam bentuk pandangan, penciuman, bunyi-bunyian, yang tidak ada hubungannya dengan upacara persembahyangan.

Dalam Lontar Bomantaka dan Lontar Sanghyang Aji Swamandala, diatur tentang tata-letak Pura, di mana area Pura dibagi menjadi tiga bagian, yaitu utama mandala, madya mandala, dan nista mandala.
1.       Utama mandala adalah bagian yang paling sakral karena di sinilah letak bangunan-bangunan utama seperti Padmasana, Meru, Pangrurah, Gedong, dan lain-lain.
2.       Madya mandala adalah tempat menyiapkan sesajen dan menenangkan pikiran sebelum masuk ke utama mandala.
3.       Nista mandala adalah halaman bebas, dapur umum, kamar mandi/ wc, tempat parkir kendaraan, tempat istirahat, dan lain-lain.
·         Dari nista mandala ke madya mandala dibatasi dengan gerbang yang bernama candi bentar yang bermakna sebagai mengingatkan umat tujuan datang ke Pura yaitu menyembah Sanghyang Widhi dalam wujud-Nya sebagai ardhanareswari, yaitu dua yang selalu berbeda, sesuai simbol candi bentar yang di kiri-kanan mengapit jalan masuk.
·         Dari madya mandala ke utama mandala dibatasi dengan gerbang yang disebut paduraksa yang bermakna membulatkan keyakinan untuk bersembahyang. Pintu paduraksa kecil, maksudnya agar pengunjung tidak berdesakan, melainkan masuk satu-persatu dengan tertib.
·         Di atas pintu paduraksa ada Bhoma sebagai simbol pensucian atau panglukatan, sehingga bila masuk ke Pura melewati paduraksa, otomatis telah disucikan oleh Sanghyang Bhoma.

Namun dewasa ini para umat Hindu terutama para remaja dalam menggunakan busana adat sudah tidak sesuai dengan aturan. Hal ini bisa terjadi karena pola pikir masyarakat. Mereka tidak mengerti akan makna dari busana adat Bali tersebut. Untuk itu agar tidak terus-menerus keliru, perlu adanya pemberitahuan kepada masyarakat secara umum tentang tatwa dalam berbusana adat Bali.

Manusia sebenarnya sudah terlahir sebagai makhluk yang suci. Jadi sebenarnya secara logika, kita sembahyang telanjang bulat pun tidak masalah. Lalu mengapa harus berbusana? pakaian itu diciptakan dengan tujuan untuk menutupi badan, dan baju merupakan salah satu bagian dari alat upacara. Manusia menciptakan sarana upakara dengan tujuan kita bisa lebih memahami ajaran agama kita. Dasar konsep dari Busana adat Bali adalah konsep tapak dara (swastika). Tubuh manusia dibagi menjadi tiga yang disebut dengan Tri Angga, yang terdiri dari:
  1. 1.   Dewa Angga : dari leher ke kepala
  2. 2.   Manusa angga : dari atas pusar sampai leher
  3. 3.   Butha Angga : dari pusar sampai bawah


Pada saat manusia tidak berbusana adat, tubuh manusia masih suci, belum dibagi-bagi menurut konsep Tri Angga berlaku. Konsep ini baru terbentuk ketika manusia sudah berbusana adat. Sebenarnya tidak ada lontar-lontar yang menunjukkan tentang busana adat Bali. Secara umum busana adat Bali dibagi tiga yaitu:
  1. 1.   Busana adat Nista : digunakan sehari, ngayah, dan tidak digunakan untuk persembahyangan (busana adat yang belum lengkap)
  2. 2.   Busana adat Madya : digunakan untuk persembahyangan (secara filosofis sudah lengkap)
  3. 3.   Busana adat Agung : untuk upacara pernikahan/pawiwahan (sedah lengkap secara aksesoris)


Berikut akan dijelaskan tentang penggunaan dan makna dari busana adat Bali ke Pura tersebut.

  Busana adat ke Pura untuk putra
Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan menggunakan kamen.
1.       Lipatan kain/kamen (wastra) putra melingkar dari kiri ke kanan karena laki-laki merupakan pemegang dharma.
2.       Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab dharma harus melangkah dengan panjang. Tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah dharma.
3.        Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai symbol penghormatan terhadap Ibu Pertiwi. Kancut juga merupakan symbol kejantanan. Untuk persembahyangan, kita tidak boleh menunjukkan kejantanan kita, yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh kita tunjukkan.
4.       Untuk menutup kejantanan itu maka kita tutup dengan saputan (kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen. Selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagi penghadang musuh dari luar. Saput melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya).
5.        Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu Butha Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi dan menyama.
6.        Pada saat putra memakai baju, umpal harus terlihat sedikit agar kita pada saat kondisi apapun siap memegang teguh dharma.
7.       Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju pada busana adat terus berubah-rubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura kita harus menunjukkan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Jadi, pada bagian baju sebenarnya tidak ada patokan yang pasti.
8.        Kemudian dilanjutkan dengan penggunakan udeng (destar).
 Udeng secara umum dibagi tiga yaitu
·         udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan), Pada udeng jejateran menggunakan simpul hidup di depan, disela-sela mata. Sebagai lambing cundamani atau mata ketiga. Juga sebagi lambang pemusatan pikiran. Dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan yaitu sebelah kanan lebih tinggi, dan sbelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan Dharma. Bebidakan yang dikiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa Siwa, dan simpul hidup melambangkan Dewa Wisnu Pada udeng jejateran bagian atas kepala atau rambut tidak tertutupi yang berarti kita masih brahmacari dah masih meminta.
·         udeng dara kepak (dipakai oleh raja), Sedangkan pada udeng dara kepak, masih ada bebidakan tepai ada tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan.
·         udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku). Sedangkan pada udeng beblatukan tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di blakan dengan diikat kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.

  Busana adat ke Pura untuk putri

Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan menggunakan kamen.
1.       Lipatan kain/kamen melingkar dari kanan ke kiri karena sesuai dengan konsep sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran dharma.
2.       Tinggi kamen putri kira-kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti itu sangat banyak jadi putri melangkah lebih pendek.
3.       Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, dan mengendalikan emosi.
4.       Pada putri menggunakan selendang/senteng dikiat menggunakan simpul hidup di kiri yang berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri memakai selendang di luar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra pada saat melenceng dari ajaran dharma.
5.       Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kebaya) dengan syarat bersih, rapi, dan sopan. Penggunaannya sama seperti baju pada putra.
6.       Kemudian dilanjutkan dengan menghias rambut. Pada putri rambut dihias dengan pepusungan. Secara umum ada tiga pusungan yaitu:
·         pusung gonjer untuk putri yang masih lajang/belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan dipih pasangannya. Pusung gonjer dibuat dengan cara rambut di lipat sebagian dan sebagian lagi di gerai. Pusung gonjer juga sebagai symbol keindahan sebagai mahkota dan sebagai stana Tri Murti.
·         pusung tagel adalah untuk putri yang sudah menikah.
·         pusung podgala/pusung kekupu. Biasanya dipakai pleh peranda istri. Ada tiga bunga yang di pakai yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambng dewa Tri Murti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar