Menjaga Kesucian Pura
Sebuah pertanyaan menggelitik pernah
diajukan kepada saya oleh seorang pemuda dengan jujur dan terbuka: “Mengapa
Pura harus dijaga kesuciannya, dan apa pula kriteria kesucian itu”
Dalam Kutipan “ Kekawin Arjuna Wiwaha
X.1/98 Mrdhu Komala gubahan Mpu Kanwa:
Pada baris kedua: “wahya dhyatmika
sembahingulun” yang
mengisyaratkan bahwa sebelum bersembahyang kita telah memenuhi dua syarat
utama, yaitu:
1.
Wahya,
artinya gerak atau sikap nyata meliputi cara berjalan, sikap duduk, sikap
tangan, nafas teratur, dan alat-alat pemujaan yang bersih dan baik.
Kriterianya meliputi antara lain: tubuh
yang bersih/ sudah mandi, pakaian yang bersih dan sopan, banten atau canang
yang sesuai sebagai persembahan.
Di samping itu suasana diciptakan secara
kondusif untukn mendukung konsentrasi bersembahyang. Rangsangan berupa dupa,
dipa, kidung, dentingan gentha, alunan puja-mantra, dan gambelan yang sesuai
menebarkan vibrasi kesucian dan sangat baik untuk mengupayakan jalinan atman pada
Brahman.
2.
Dhyatmika,
artinya kondisi batin yang baik dan siap untuk bersembahyang, yaitu: tenang,
damai, pengabdian yang tulus, dan konsentrasi penuh dalam memuja Sanghyang
Widhi.
Oleh karena itu PHDI dalam Keputusan
Seminar ke-IV tentang Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu tanggal
17 s/d 20 April 1978 mengatur Tata-Cara masuk Pura, sebagai berikut:
Dilarang masuk
Pura bagi orang-orang yang:
·
Dalam keadaan datang bulan (wanita), baru melahirkan atau aborsi
yang belum selesai masa cuntaka/ sebel – nya.
·
Berhalangan kematian atau cuntaka karena sebab lain
·
Tidak mentaati ketentuan masuk Pura
·
Menderita cacat fisik yang permanen.
·
Berpakaian tidak sopan atau menonjolkan bentuk tubuh/ aurat.
·
Bercumbu, berkelahi, bertengkar, berkata kasar/ memaki, bergosip,
menyusui bayi, meludah, buang air, mencorat-coret pelinggih-pelinggih, dan
lain-lain.
·
Yang tidak mempunyai kepentingan bersembahyang atau yang berkaitan
dengan acara/ upacara di Pura.
Kitab suci Atharvaveda X11.1.38 menyatakan:
YASYAM SADOHA VIRDHANE YUPO YASYAAM
NIMIYATE, BRAHMANO YASYAMARCANTYURGBHIH SAMNA YAJURVIDAH, YUJYANTE
YASYAMRTVIJAH SOMAM INDRAYA PATAVE
Artinya: di tempat-tempat suci, di mana
didirikan Pura tempat para brahmana yang menguasai yayurveda memuja Tuhan dengan
Rgveda dan merapalkan Samaveda, di sanalah Tuhan rnelimpahkan kebahagiaan dan
keselamatan bagi umat manusia.
PHDI dalam Keputusan Nomor:
11/Kep/I/PHDIP/1994 tanggal 25 Januari 1994 mengeluarkan Bhisama tentang
kesucian Pura, di mana ditetapkan bahwa kawasan suci meliputi: gunung, danau,
campuhan (pertemuan sungai-sungai), pantai, laut.
Maksudnya lingkungan Pura dalam jarak
tertentu agar dijaga tidak tercemar, yang bisa mengganggu konsentrasi umat yang
bersembahyang di Pura, baik dalam bentuk pandangan, penciuman, bunyi-bunyian,
yang tidak ada hubungannya dengan upacara persembahyangan.
Dalam Lontar Bomantaka dan Lontar
Sanghyang Aji Swamandala, diatur tentang tata-letak Pura, di mana area Pura
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu utama mandala, madya mandala, dan nista
mandala.
1.
Utama
mandala adalah bagian yang paling sakral karena di sinilah letak
bangunan-bangunan utama seperti Padmasana, Meru, Pangrurah, Gedong, dan
lain-lain.
2.
Madya
mandala adalah tempat menyiapkan sesajen dan menenangkan pikiran sebelum masuk
ke utama mandala.
3.
Nista
mandala adalah halaman bebas, dapur umum, kamar mandi/ wc, tempat parkir
kendaraan, tempat istirahat, dan lain-lain.
·
Dari
nista mandala ke madya mandala dibatasi dengan gerbang yang bernama candi
bentar yang bermakna sebagai mengingatkan umat tujuan datang ke Pura yaitu
menyembah Sanghyang Widhi dalam wujud-Nya sebagai ardhanareswari, yaitu dua
yang selalu berbeda, sesuai simbol candi bentar yang di kiri-kanan mengapit
jalan masuk.
·
Dari
madya mandala ke utama mandala dibatasi dengan gerbang yang disebut paduraksa
yang bermakna membulatkan keyakinan untuk bersembahyang. Pintu paduraksa kecil,
maksudnya agar pengunjung tidak berdesakan, melainkan masuk satu-persatu dengan
tertib.
·
Di
atas pintu paduraksa ada Bhoma sebagai simbol pensucian atau panglukatan,
sehingga bila masuk ke Pura melewati paduraksa, otomatis telah disucikan oleh
Sanghyang Bhoma.
Namun dewasa ini para umat Hindu terutama para remaja dalam
menggunakan busana adat sudah tidak sesuai dengan aturan. Hal ini bisa terjadi
karena pola pikir masyarakat. Mereka tidak mengerti akan makna dari busana adat
Bali tersebut. Untuk itu agar tidak terus-menerus keliru, perlu adanya
pemberitahuan kepada masyarakat secara umum tentang tatwa dalam berbusana adat
Bali.
Manusia sebenarnya sudah terlahir sebagai makhluk yang suci. Jadi
sebenarnya secara logika, kita sembahyang telanjang bulat pun tidak masalah.
Lalu mengapa harus berbusana? pakaian itu diciptakan dengan tujuan untuk
menutupi badan, dan baju merupakan salah satu bagian dari alat upacara. Manusia
menciptakan sarana upakara dengan tujuan kita bisa lebih memahami ajaran agama
kita. Dasar konsep dari Busana adat Bali adalah konsep tapak dara (swastika).
Tubuh manusia dibagi menjadi tiga yang disebut dengan Tri Angga, yang terdiri
dari:
- 1. Dewa Angga : dari leher ke kepala
- 2. Manusa angga : dari atas pusar sampai leher
- 3. Butha Angga : dari pusar sampai bawah
Pada saat manusia tidak berbusana adat, tubuh manusia masih suci,
belum dibagi-bagi menurut konsep Tri Angga berlaku. Konsep ini baru terbentuk
ketika manusia sudah berbusana adat. Sebenarnya tidak ada lontar-lontar yang
menunjukkan tentang busana adat Bali. Secara umum busana adat Bali dibagi tiga
yaitu:
- 1. Busana adat Nista : digunakan sehari, ngayah, dan tidak digunakan untuk persembahyangan (busana adat yang belum lengkap)
- 2. Busana adat Madya : digunakan untuk persembahyangan (secara filosofis sudah lengkap)
- 3. Busana adat Agung : untuk upacara pernikahan/pawiwahan (sedah lengkap secara aksesoris)
Berikut akan dijelaskan
tentang penggunaan dan makna dari busana adat Bali ke Pura tersebut.
Busana adat ke Pura untuk putra
Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan menggunakan
kamen.
1. Lipatan kain/kamen (wastra) putra melingkar dari
kiri ke kanan karena laki-laki merupakan pemegang dharma.
2. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari
telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab dharma harus melangkah
dengan panjang. Tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah dharma.
3. Pada
putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya
menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai symbol
penghormatan terhadap Ibu Pertiwi. Kancut juga merupakan symbol kejantanan.
Untuk persembahyangan, kita tidak boleh menunjukkan kejantanan kita, yang
berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh kita
tunjukkan.
4. Untuk menutup kejantanan itu maka kita tutup
dengan saputan (kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung
kamen. Selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagi
penghadang musuh dari luar. Saput melingkar berlawanan arah jarum jam
(prasawya).
5. Kemudian
dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah
mengendalikan hal-hal buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua
yaitu Butha Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul
hidup di sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi dan menyama.
6. Pada saat
putra memakai baju, umpal harus terlihat sedikit agar kita pada saat kondisi
apapun siap memegang teguh dharma.
7. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju
(kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju pada busana adat terus
berubah-rubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura kita harus
menunjukkan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan
memperindah diri. Jadi, pada bagian baju sebenarnya tidak ada patokan yang
pasti.
8. Kemudian
dilanjutkan dengan penggunakan udeng (destar).
Udeng secara umum dibagi
tiga yaitu
·
udeng jejateran (udeng
untuk persembahyangan), Pada udeng jejateran menggunakan simpul hidup di depan,
disela-sela mata. Sebagai lambing cundamani atau mata ketiga. Juga sebagi
lambang pemusatan pikiran. Dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol
penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan
yaitu sebelah kanan lebih tinggi, dan sbelah kiri lebih rendah yang berarti
kita harus mengutamakan Dharma. Bebidakan yang dikiri symbol Dewa Brahma, yang
kanan symbol Dewa Siwa, dan simpul hidup melambangkan Dewa Wisnu Pada udeng
jejateran bagian atas kepala atau rambut tidak tertutupi yang berarti kita
masih brahmacari dah masih meminta.
·
udeng dara kepak
(dipakai oleh raja), Sedangkan pada udeng dara kepak, masih ada bebidakan tepai
ada tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi
masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan.
·
udeng beblatukan
(dipakai oleh pemangku). Sedangkan pada udeng beblatukan tidak ada bebidakan,
hanya ada penutup kepala dan simpulnya di blakan dengan diikat kebawah sebagai
symbol lebih mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
Busana adat ke Pura untuk putri
Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan menggunakan
kamen.
1. Lipatan kain/kamen melingkar dari kanan ke kiri
karena sesuai dengan konsep sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga
agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran dharma.
2. Tinggi kamen putri kira-kira setelapak tangan
karena pekerjaan putri sebagai sakti itu sangat banyak jadi putri melangkah
lebih pendek.
3. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai
bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, dan mengendalikan emosi.
4. Pada putri menggunakan selendang/senteng dikiat
menggunakan simpul hidup di kiri yang berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri
memakai selendang di luar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap
membenahi putra pada saat melenceng dari ajaran dharma.
5. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju
(kebaya) dengan syarat bersih, rapi, dan sopan. Penggunaannya sama seperti baju
pada putra.
6. Kemudian dilanjutkan dengan menghias rambut.
Pada putri rambut dihias dengan pepusungan. Secara umum ada tiga pusungan
yaitu:
·
pusung gonjer untuk
putri yang masih lajang/belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih
bebas memilih dan dipih pasangannya. Pusung gonjer dibuat dengan cara rambut di
lipat sebagian dan sebagian lagi di gerai. Pusung gonjer juga sebagai symbol
keindahan sebagai mahkota dan sebagai stana Tri Murti.
·
pusung tagel adalah
untuk putri yang sudah menikah.
·
pusung podgala/pusung
kekupu. Biasanya dipakai pleh peranda istri. Ada tiga bunga yang di pakai yaitu
cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambng dewa Tri Murti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar